BERITA62.COM, Barito Timur – Aksi kejar-kejaran yang memacu adrenalin itu terjadi pada malam Jumat, 9 Mei 2025. Sebuah mobil putih Toyota Veloz melaju ugal-ugalan di jalanan Tamiang Layang, menciptakan kepanikan layaknya adegan dalam film laga.
Banyak warga sempat mengira itu tabrak lari, namun kenyataannya lebih kompleks, pengejaran polisi terhadap dua orang yang terindikasi sebagai pengguna narkoba.
Dibalik kemudi, DR (27) mencoba meloloskan diri bersama rekannya SA (19). Pengejaran melibatkan Satresnarkoba Polres Barito Timur, Sat PJR Polda Kalteng, dan Polsek Benua Lima, yang akhirnya berhasil menghentikan laju mobil tepat di depan Mapolsek Benua Lima.
Meski tak ditemukan barang bukti narkotika di dalam kendaraan, hasil tes urine keduanya menyatakan positif mengandung methamphetamine dan amphetamine. DR dan SA langsung diamankan ke Mapolres Barito Timur.
Namun alih-alih langsung dipidanakan, aparat memilih jalur berbeda, rehabilitasi. Ini bukan berarti mengabaikan pelanggaran hukum, melainkan menjalankan pendekatan restorative justice yang mengedepankan pemulihan ketimbang hukuman.
Lima hari setelah penangkapan, keduanya menjalani asesmen terpadu di Aula Badan Narkotika Nasional Provinsi (BNNP) Kalimantan Tengah. Hasilnya, DR dikategorikan sebagai pecandu, sedangkan SA merupakan pengguna rekreasional. Tak ada indikasi keterlibatan dalam jaringan peredaran gelap.
“Pendekatan ini adalah wujud keadilan yang lebih berkeadaban. Mereka bukan pengedar, tidak ditemukan barang bukti, dan dari hasil penyelidikan, tidak terlibat jaringan. Maka, langkah terbaik adalah memulihkan, bukan menghukum,” jelas Kasatresnarkoba Polres Barito Timur, Iptu Budi Utomo, Jumat, 16 Mei 2025.
Dalam gelar perkara khusus, diputuskan bahwa DR akan menjalani rehabilitasi di Balai Rehabilitasi BNN Tanah Merah Samarinda. Sedangkan SA dirujuk ke Institusi Penerima Wajib Lapor (IPWL) RSUD Tamiang Layang.
Keputusan tersebut merujuk pada Peraturan Kepala BNN Nomor 1 Tahun 2022 yang memberi ruang bagi pengguna narkotika tanpa barang bukti fisik dan tanpa keterlibatan jaringan untuk diproses melalui jalur rehabilitasi.
Langkah ini menunjukkan bahwa hukum bisa bersikap lebih manusiawi, memberi harapan bagi mereka yang tergelincir, sekaligus membuka pintu menuju pemulihan dan reintegrasi sosial.
“Harapan kami, dengan rehabilitasi, mereka bisa kembali ke masyarakat sebagai pribadi yang lebih baik, bebas dari ketergantungan, dan tidak mengulangi kesalahan yang sama,” tambah Iptu Budi.
Kini, peristiwa yang sempat viral karena dramatisnya itu, berakhir dengan pesan yang kuat, bahwa keadilan tidak selalu berarti hukuman. Terkadang, memberi kesempatan kedua justru menjadi jalan terbaik untuk menyelamatkan masa depan. (BME-1)